Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida dilaporkan akan mengundurkan diri sebagai ketua partai penguasa negara tersebut, Partai Demokrat Liberal (LDP), pada September mendatang, mengakhiri masa jabatan tiga tahun yang diwarnai oleh kenaikan harga dan skandal politik.
Hal itu dikonfirmasi langsung oleh Kishida dalam konferensi pers Rabu (14/8/2024).
Ia akan mengundurkan diri pada bulan September, sekaligus mengakhiri masa jabatan tiga tahun sebagai PM yang dinodai oleh skandal politik dan membuka jalan bagi perdana menteri baru untuk mengatasi dampak kenaikan harga.
“Saya akan terus melakukan apapun yang saya bisa sebagai perdana menteri hingga masa jabatan saya berakhir pada bulan September,” kata Kishida dalam konferensi pers yang disiarkan televisi pada hari Rabu untuk mengumumkan keputusannya untuk tidak mencalonkan diri kembali sebagai pemimpin LDP.
Keputusan Kishida untuk mundur akan memicu pemilihan untuk menggantikannya sebagai ketua partai, yang secara otomatis juga akan menentukan siapa yang akan memimpin ekonomi terbesar keempat di dunia ini.
Penggantinya kemungkinan akan menghadapi tantangan berupa kenaikan biaya hidup, ketegangan geopolitik yang semakin meningkat, dan potensi kembalinya Donald Trump sebagai presiden Amerika Serikat (AS) pada tahun depan.
Sebagai pemimpin kedelapan Jepang terlama setelah perang, Kishida memimpin negara ini keluar dari pandemi Covid-19 dengan menggelontorkan stimulus besar-besaran. Namun, ia juga menunjuk Kazuo Ueda, seorang akademisi yang ditugaskan untuk mengakhiri stimulus moneter radikal yang diterapkan oleh pendahulunya, sebagai Kepala Bank of Japan (BOJ).
Pada bulan Juli, BOJ secara tak terduga menaikkan suku bunga, yang berkontribusi pada ketidakstabilan pasar saham dan menyebabkan penurunan tajam nilai yen.
“Jika laporan ini akurat, kita dapat mengharapkan kebijakan yang lebih ketat atau kondisi fiskal dan moneter yang lebih netral tapi sedikit lebih ketat tergantung pada kandidat pengganti,” kata Shoki Omori, kepala strategi desk Jepang di Mizuho Securities, Tokyo.
“Secara singkat, aset berisiko, terutama ekuitas, kemungkinan besar akan terkena dampaknya,” tambahnya.
Dalam langkah yang berbeda dari masa lalu, Kishida juga meninggalkan kebijakan ekonomi yang didorong oleh keuntungan korporasi demi kebijakan yang bertujuan meningkatkan pendapatan rumah tangga, termasuk kenaikan upah dan promosi kepemilikan saham.