Pemerintah telah mengucurkan berbagai program untuk memperkuat daya beli masyarakat, sebelum menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% pada Januari 2025.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan, Dwi Astuti menjelaskan, sedari awal pun pemerintah tidak tiba-tiba menaikkan tarif PPN dari saat 11% menjadi 12%. Ia mengatakan, rencana kenaikan itu telah dimuat sejak terbitnya Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) pada Oktober 2021.
“Tapi memang ini implementasinya itu secara bertahap. Penyesuaian tarif PPN 1% pernah dilakukan juga 1% per 1 April 2022, dan kemudian 1% lagi di tahun 2025, ini nanti per 1 Januari,” kata Dwi di Podcast Cermati di Youtube Ditjen Pajak, Selasa (26/11/2024).
Sebelum tarif PPN itu terus naik dalam 3 tahun terakhir, pemerintah kata Dwi juga telah mengeluarkan berbagai kebijakan untuk mendorong daya beli masyarakat. Terutama, melalui berbagai kebijakan insentif pajak yang tertuang dalam UU HPP maupun aturan turunannya.
“Jangan cuma dilihat penyesuaian tarifnya saja. Yang penting, kita barangkali juga sadari, kita lihat adalah bahwa sebetulnya sebelum kenaikan PPN 1% itu sudah banyak sekali program-program pemerintah yang memperkuat daya beli masyarakat,” tegasnya.
Ia menyebutkan, dalam UU HPP juga diperkenalkan golongan atau bracket baru penghasilan yang kena pajak. Misalnya, pengenaan tarif pajak terendah yang sebesar 5% menjadi Rp 60 juta setahun, dari sebelumnya penghasilan Rp 50 juta sudah terkena pajak.
Lalu, ia melanjutkan, UU HPP juga memperkenalkan ketentuan penghasilan tidak kena pajak bagi wajib pajak orang pribadi UMKM yang memiliki omzet sampai dengan Rp 500 juta. Sedangkan untuk omzetnya dari Rp 500 juta sampai dengan Rp 4,8 miliar baru dikenakan pajak 0,5%.
“Ini adalah bagian dari upaya pemerintah untuk memperkuat daya beli. PPh badannya bagaimana Ibu? Itu kan per orang saja. Ini tarifnya pun diturunkan menjadi 22%. Ini lagi-lagi adalah sebuah skema bagaimana pemerintah juga memikirkan daya beli masyarakat,” ucapnya.
Di sisi lain, Dwi mengatakan, dalam ketentuannya pun tidak semua barang dan jasa dipungut PPN. Di antaranya ialah kebutuhan pokok seperti daging, sayur-sayuran, buah-buahan, telur, susu, jagung, gabah, beras hingga telur. Lalu, jasa pendidikan, kesehatan, asuransi, hingga transportasi umum terbebas dari pungutan PPN.
“Artinya dalam hal ini pemerintah juga memikirkan bahwa diperkuat daya belinya dulu, kemudian jenis-jenis barangnya juga tidak semua dikenalkan pajak,” kata Dwi.
Dengan begitu, ia menekankan, kenaikan tarif pajak dari 11% ke 12%, telah dengan sebuah kajian ilmiah yang mendalam, dan dibahas secara komprehensif.
“Pasti didahului oleh sebuah kajian yang mendalam, dan kemudian juga didahului dengan program-program atau inisiatif-inisiatif pemerintah yang tadi memperkuat daya beli masyarakat,” tegasnya.
Sayangnya, kalangan pengusaha memandang sebaliknya. Misalnya, Kalangan pengusaha yang tergabung dalam Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia (HIPPI) menganggap kenaikan tarif PPN menjadi 12% dilakukan pada saat daya beli masyarakat Indonesia tengah terpukul.
Ketua Dewan Pertimbangan HIPPI Suryani Sidik Motik mengatakan, ini terlihat dari kondisi maraknya tren hidup super hemat alias frugal living, yang membuat masyarakat enggan melakukan aktivitas konsumsi di luar kebutuhan pokok. Tercermin dari laju pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang di bawah 5% sepanjang tahun ini.
Laju pertumbuhan konsumsi rumah tangga pada kuartal I-2024 hanya 4,91%, kuartal II 4,93%, dan kuartal III sebesar 4,91%. Akibatnya, ekonomi Indonesia secara tahunan hanya tumbuh 4,95% per kuartal III-2024, lebih rendah dari laju pertumbuhan per kuartal III-2023 sebesar 5,05%.
“Nah ini kan harusnya dalam keadaan begini belanja sebanyak-banyaknya supaya ekonominya hangat lagi, dunia usaha tumbuh lagi dan kita baru bisa pajaknya naik, jangan sekarang,” ucap Suryani dalam program Closing Bell CNBC Indonesia, Senin (25/11/2024).
Suryani menganggap, ketika PPN naik menjadi 12% pada Januari 2025 sesuai amanat UU HPP, harga barang dan jasa yang diterima konsumen bisa naik hingga 10%. Sebab, mulai dari proses produksi sampai barang jadi maupun distribusi terkena PPN.
“Jadi bayangkan kalau misalnya satu produk dibuat dari bahan baku sampai dijual di ujungnya 12%, bahan bakunya, tambah minyaknya, tambah lain-lainnya itu kebayang sampai di ujung berapa persen jadinya, mungkin kenaikan hanya 1% tapi diujung produk akhir besar sekali bisa jadi sampai 10%,” ucapnya.
Ketika kenaikan terhadap harga barang dan jasa sudah tidak sanggup diserap oleh masyarakat, Suryani mengingatkan bahwa aktivitas usaha pasti akan jatuh karena tidak ada barang yang dibeli. Ujungnya adalah pemutusan hubungan kerja untuk efisiensi usaha, dan bahkan sampai gulung tikar alias bangkrut.
“Frugal living ini bukan lifestyle, ini karena enggak punya pilihan masyarakat, karena memang untuk bisa bertahan, dan kalau ini terjadi berarti spending di masyarakat tidak ada, jadi pasar itu sepi, kalau pasar sepi orang enggak akan berproduksi,” tegasnya.