Tren Penurunan Suku Bunga Acuan Global Akan Segera Tiba

Foto: Papan di atas lantai perdagangan menunjukkan angka penutupan indeks industri Dow Jones di Bursa Efek New York, Jumat, 2 Agustus 2024. Saham anjlok pada hari Jumat karena kekhawatiran ekonomi AS dapat terpuruk akibat beban suku bunga tinggi yang dimaksudkan untuk menekan inflasi. (AP/Richard Drew)

Pasar keuangan global bersiap memasuki era baru seiring banyaknya negara yang mulai memasuki siklus pemangkasan suku bunga acuan. Perubahan ekspektasi suku bunga global pun telah mengurangi tekanan terhadap kurs rupiah. Stabilitas rupiah yang berkesinambungan diharapkan dapat menjadi kunci titik balik sentimen investor di pasar keuangan Indonesia.

Director & Chief Investment Officer Fixed Income Manulife Aset Manajemen Indonesia, Ezra Nazula mengatakan, siklus pelonggaran moneter global telah dimulai. Sejumlah bank sentral di beberapa negara maju bahkan telah memangkas suku bunga mereka sejak kuartal I-2024 untuk berbagai tujuan.

Di antaranya untuk merespons inflasi yang terkendali seperti terjadi di Swiss, Kanada, zona Euro, dan Inggris Raya. Kemudian menjaga keseimbangan nilai tukar seperti yang terjadi di Denmark, hingga karena melemahnya permintaan domestik seperti di Swedia.

Adapun normalisasi inflasi dijadikan pertimbangan pemangkasan suku bunga bagi negara-negara berkembang di Amerika Latin (Brazil, Kolombia, dan Cili) dan Eropa Tengah-Timur (Hungaria, Ceko, dan Rumania).

“Jadi sudah cukup fixed, cukup yakin bahwa The Fed itu akan menurunkan suku bunganya di pada September,” ungkap Ezra dalam acara Market Update-Wind of Change, Rabu (14/8/2024).

Dia melanjutkan, The Fed dalam rapat FOMC di Juli telah mengindikasikan potensi pemangkasan suku bunga pada September semakin terbuka. Secara eksplisit, The Fed juga mulai memperhatikan risiko pelemahan sektor tenaga kerja, dan menyatakan ke depannya akan memberikan fokus yang seimbang antara faktor inflasi dan sektor tenaga kerja.

“Meningkatnya optimisme pemangkasan suku bunga The Fed yang semakin mendekat, tercermin di pasar US Treasury (UST), dimana imbal hasil UST tenor pendek turun lebih banyak dibanding tenor panjang, dan selisih imbal hasil antara tenor 10Y dan 2Y semakin menipis, berada pada level terendah sejak kenaikan FFR agresif di 2022. Perubahan ekspektasi suku bunga juga terlihat dampaknya pada dolar AS yang mulai melemah terhadap mata uang lainnya,” jelasnya.

Di samping itu, Ezra menambahkan, kawasan Asia bakal diuntungkan oleh siklus pelonggaran moneter global. Secara historis, Asia diuntungkan saat dolar AS melemah. Dalam 24 tahun terakhir, pasar saham Asia 12 kali lebih unggul dibandingkan pasar saham global, dan dari 12 kali keunggulan tersebut 9 kali terjadi pada iklim pelemahan USD.

Perekonomian Asia juga relatif kuat ditopang oleh membaiknya aktivitas perdagangan global. Hal tersebut berlawanan dengan ekonomi AS yang menunjukkan sinyal moderasi.

Beralih ke dalam negeri, Lalu, Ezra mengatakan, perubahan ekspektasi suku bunga dan stabilitas Rupiah berpotensi membawa iklim yang lebih baik bagi pasar obligasi. Hal ini ini berpotensi pada kembalinya arus dana asing.

Selain itu, berkurangnya target penerbitan SBN di semester II-2024 bisa menjadi potensi katalis obligasi lainnya. Imbal hasil saat ini masih cukup menarik, di mana selisih imbal hasil SBN 10Y- UST 10Y berada di 288 bps lebih tinggi dari rata-rata satu tahun sebesar 245 bps.

“Kami memperkirakan imbal hasil SBN 10 tahun ada di kisaran 6,00% – 6,25% hingga akhir tahun ini,” ucapnya.

Lebih jauh, Ezra bilang, reksa dana obligasi dapat dipertimbangkan oleh investor untuk memanfaatkan karakteristik defensif dari kelas aset obligasi. Kondisi imbal hasil obligasi yang tinggi saat ini dapat menjadi peluang bagi investor untuk mengunci imbal hasil di level yang menarik dan juga dapat menikmati potensi capital gain ketika suku bunga mulai beranjak turun.

Sementara itu, Chief Economist & Investment Strategist Manulife Aset Manajemen Indonesia, Katarina Setiawan menjelaskan bahwa perubahan ekspektasi The Fed pada Juli membuat tekanan terhadap Rupiah mulai reda, dan investor asing mulai mencatat pembelian bersih di pasar saham dan obligasi setelah tiga bulan berturut-turut mencatat penjualan bersih. Tekanan Rupiah yang mereda juga diindikasikan oleh rata-rata imbal hasil lelang SRBI yang menurun.

Dengan begitu, Katarina meyakini, stabilitas Rupiah yang berkesinambungan akan menjadi kunci titik balik sentimen investor di pasar finansial Indonesia. Ke depan, faktor yang dapat mempengaruhi stabilitas rupiah di antaranya adalah perubahan ekspektasi FFR, pemilu AS, outlook postur RAPBN-2025, stabilitas inflasi domestik, dan kebijakan pemerintah baru.

Menurut dia, meredanya tekanan pada Rupiah dan kembalinya arus dana asing ke pasar domestik menjadi faktor pendukung bagi kebijakan Bank Indonesia (BI). Inflasi domestik turun ke batas bawah target dan konsumsi domestik yang cenderung lemah dapat menjadi pertimbangan utama BI untuk memangkas suku bunga.

Namun di sisi lain, besaran pemangkasan suku bunga oleh BI diperkirakan lebih konservatif dibandingkan pemangkasan suku bunga The Fed.

“Hal ini dilakukan untuk memperlebar selisih suku bunga dengan AS demi menjaga stabilitas Rupiah. Hingga akhir 2025, pasar memperkirakan BI Rate akan turun 100 basis poin (bps) dan suku bunga The Fed turun sebesar 150 bps,” ujar Katarina.

Tak hanya itu, Pemerintah juga telah menaikkan anggaran belanja negara 2024 menjadi Rp3.412 triliun atau naik Rp87 triliun dari anggaran awal, terutama dialokasikan untuk belanja modal, material, dan subsidi. Akselerasi realisasi belanja negara diharapkan dapat menjadi faktor pendukung pertumbuhan ekonomi dan menopang likuiditas. Sedangkan, di paruh pertama 2024, realisasi anggaran baru mencapai 41% atau Rp1.398 triliun dari target.

Meski sinyal positif dari global dan domestik telah mulai terlihat, Katarina melihat investor tetap perlu memperhitungkan sejumlah faktor risiko. Beberapa di antaranya adalah risiko dampak dari eskalasi mendadak kondisi geopolitik dunia, khususnya di Timur Tengah yang masih berpotensi meningkat ketegangannya.

Risiko resesi di AS juga perlu dipertimbangkan, karena dampak dari pelemahan ekonomi AS yang sangat signifikan. Faktor risiko dari dalam negeri adalah kebijakan fiskal domestik dari pemerintahan baru, termasuk komunikasi dan implementasinya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*